Disusun oleh:
Kelompok 5
INDAH
NUR HIDAYATI (NIM. 1711143031)
indah-sciencehome.blogspot.co.id
INDRIANI (NIM. 1711143033)
indrimerdeka.blogspot.com
M. NURHAFID MALIKUL MULKI (NIM.
1711143047)
nurhafid612.blogspot.com
VIVIN NAJIHAH (NIM. 1711143084)
evinn68.blogspot.com
ZAINI ROHMAH (NIM. 1711143090)
zrohmah.blogspot.com
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dagang & Bisnis
Per tanggal 11 Maret 2016
Bank sentral adalah lembaga negara
yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu
negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta
menjalankan fungsi sebagai lender of last resort.[1]
Di Indonesia, wewenang bank sentral berada di tangan Bank Indonesia.
Undang-undang yang berlaku dan mengatur kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral ialah
Undang-undang No.
23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-undang No. 3 tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-undang No.
23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pada postingan
kali ini kami akan menganalisis dan memperbandingkan kedua undang-undang di
atas, khususnya:
-
BAB
I tentang Ketentuan Umum,
-
BAB
II tentang Status, Tempat Kedudukan, dan Modal,
-
BAB
III tentang Tujuan dan Tugas, dan
-
BAB
IV tentang Tugas Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter.
Dan untuk pembahasan lebih
lengkapnya adalah sebagai berikut.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Ketentuan Pasal
1 dalam bab ini hanya membahas istilah-istilah dasar dalam Bank Indonesia yang
kedudukannya sebagai bank sentral. Adapun Pasal 1 tersebut adalah sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Dewan Gubernur adalah
pimpinan Bank Indonesia;
2.
Gubernur adalah
pemimpin merangkap anggotaDewan Gubernur;
3.
Deputi Gubernur Senior
adalah wakil pemimpin merangkap anggota Dewan Gubernur;
4.
Deputi Gubernur adalah
anggota Dewan Gubernur;
5.
Bank adalah Bank Umum
dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang
perbankan yang berlaku;
6.
Sistem pembayaran
adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme,
yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban
yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi;
7.
Pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Indonesia dan Bank
yang mewajibkan Bank yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
8.
Peraturan Bank
Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat
setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;
9.
Peraturan Dewan
Gubernur adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur yang memuat
aturan-aturan intern antara lain mengenai tata tertib pelaksanaan tugas dan
wewenang Dewan Gubernur, kepegawaian, dan organisasi Bank Indonesia;
10. Kebijakan
Moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara
lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan/atau suku bunga;
11. Cadangan Umum adalah dana yang berasal dari
sebagian surplus Bank Indonesia yang dapat digunakan untuk menghadapi risiko
yang mungkin timbul dari pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia;
12. Cadangan
Tujuan adalah dana yang berasal dari sebagian surplus Bank Indonesia yang dapat
digunakan antara lain untuk penggantian atau pembaruan harta tetap dan
perlengkapan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Bank
Indonesia serta untuk penyertaan.
Pasal 2
Ketentuan Pasal
2 ayat (1) membahas tentang satuan mata uang Republik Indonesia yaitu rupiah
(Rp), yang sah digunakan sebagai alat pembayaran bagi setiap orang dan badan
yang berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2 ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4)).
Sedangkan
ketentuan ayat (5) pasal ini memberikan pengecualian terhadap ayat (3), yakni yang
diberikan untuk keperluan pembayaran di tempat atau di daerah tertentu maupun
untuk memenuhi kewajiban dalam valuta asing berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia.
Pasal 3
Dalam ketentuan
pasal ini, dijelaskan bahwa seseorang memiliki batasan tertentu dalam membawa
uang rupiah keluar maupun masuk wilayah pabean RI, kecuali ia memiliki izin
dari Bank Indonesia (ayat (1)). Ini merupakan ketentuan yang terdapat dalam
Peraturan Bank Indonesia.
BAB
II
STATUS,
TEMPAT KEDUDUKAN, DAN MODAL
Pasal
4
Ketentuan Pasal 4 ini mengalami
perubahan pada ayat (2), yang semula berbunyi:
(2) Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah
dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam undang-undang ini. (Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999)
Menjadi:
(2) Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang
ini. (Pasal 4 UU No. 3 tahun 2004)
Pada dasarnya,
ketentuan pasal ini membahas tentang kedudukan Bank Indonesia sebagai bank
sentral (ayat (1)). Bank Indonesia ini meskipun lembaga milik negara, tetapi ia
berdiri sendiri (independen) dan terlepas dari campur tangan lembaga negara
lainnya, kecuali terhadap hal-hal yang diatur dalam undang-undang (ayat (2)),
serta berstatus sebagai badan hukum (ayat (3)).
Bank Indonesia
dalam kedudukannya sebagai badan hukum (publik), yaitu sebagai salah satu
lembaga negara selain mempunyai wewenang dalam mengelola kekayaannya sendiri
yang terlepas dari anggaran pendapatan dan belanja negara, juga wewenang untuk
menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenagannya.[2]
Sehingga Bank Indonesia ini menjadi lembaga independen yang bidang tugasnya di
luar pemerintahaan ataupun lembaga lain. Hal ini menyebabkan pihak lain
dilarang ikut campur dalam pelaksanan Bank Indonesia. Dalam hal ini pula Bank
Indonesia wajib mengabaikan segala bentuk campur tangan tersebut supaya dapat
melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif dan terlepas dari pengaruh
pihak lain. Namun demikian, Bank Indonesia tetap wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawabannya kepada DPR (laporan pelaksanaan tugas) dan BPK (laporan
keuangan).
Pasal
5
Menurut
ketentuan pasal ini, Bank Indonesia berkedudukan di ibukota negara, serta dapat
memiliki kantor-kantor di dalam maupun di luar wilayah negara RI. Adapun penamaan kantor di dalam negeri disebut kantor
cabang, sedangkan kantor di luar negeri disebut kantor perwakilan.[3] Kantor-kantor tersebut
dapat melakukan berbagai macam kegiatan Bank Indonesia sesuai tugas dan wewenangnya.
Pasal
6
Ketentuan pasal ini
mengalami perubahan pada ayat (2) dan ayat (3), yang mulanya berbunyi:
(2) Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditambah sehingga menjadi 10% (sepuluh
perseratus) dari seluruh kewajiban moneter, yang
dananya berasal dari Cadangan Umum atau sumber lain.
(3) Tata
cara penambahan modal dari Cadangan Umum atau
sumber lainnya ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur. (Pasal 6 UU No.
23 Tahun 1999)
Menjadi:
(2) Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditambah sehingga menjadi paling
banyak 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh kewajiban moneter, dengan dana yang berasal dari Cadangan Umum
atau dari hasil revaluasi aset.
(3) Tata cara penambahan modal dari Cadangan Umum
atau dari hasil revaluasi aset
ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur. (Pasal 6 UU No. 3 Tahun 2004)
Dalam ketentuan
ini disebutkan bahwa modal Bank Indonesia sekurang-kurangnya adalah Rp 2 triliun,
dan harus ditambah sehingga menjadi 10% dari seluruh kewajiban moneter yang
dananya dari cadangan umum ataupun revaluasi aset. Sehingga apabila kewajiban
moneter naik, maka Bank Indonesia harus terus menaikkan modalnya agar tetap
memliki perbandingan 10% dengan kewajiban moneternya. Yang dimaksud kewajiban
moneter ini dapat berupa kewajiban Bank Indonesia kepada masyarakat, Bank, dan
Pemerintah, baik berupa uang kartal yang diedarkan atupun semacamnya.
Untuk mencapai
modal yang sesuai perbandingan 10% dengan kewajiban moneternya, maka dapat
dilakukan dengan melalui cadangan umum maupun sumber lain, yakni yang berasal
dari surplus Bank Indonesia untuk menghadapi resiko ataupun tambahan modal dari
revaluasi aset atau setoran modal kekayaan negara yang dipisahkan. Hal ini
ditetapkan dalam peraturan dewan gubernur
BAB
III
TUJUAN
DAN TUGAS
Dalam
Bab III ini terdapat 3 (tiga) ketentuan pasal, yakni Pasal 7, Pasal 8, dan
Pasal 9.
Dalam pasal 7
ini terdapat ketentuan baru yang kemudian menjadi ayat (2), sehingga pasal ini
tidak hanya membahas tentang tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah (ayat (1)). Tetapi juga dijelaskan bahwa
Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian (ayat (2)). Kestabilan nilai rupiah ini diukur dengan perkembangan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Adapun tujuan kestabilan
nilai rupiah ini adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan hal ini dapat dilaksanakan dalam bentuk kebijakan
moneter sebagaimana disebutkan di atas.
Ketentuan pasal 8 membahas tentang tugas-tugas Bank
Indonesia untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yakni sebagai
berikut:
a.
Menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter
b.
Mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
c.
Mengatur
dan mengawasi Bank
Untuk
mendukung tugas-tugas ini, Bank Indonesia dapat mengadakan survei pengumpulan
informasi yang bersifat makro maupun mikro, survei kegiatan usaha, survei
konsumen, ataupun survei lainnya.
Sedangkan ketentuan Pasal 9 membahas tentang larangan
campur tangan dalam berbagai bentuk oleh pihak lain terhadap pelaksanaan tugas-tugas
Bank Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal di atas, ayat (1). Dalam hal ini Bank Indonesia juga wajib menolak/mengabaikan
segala bentuk campur tangan tersebut.
BAB IV
TUGAS MENETAPKAN DAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN MONETER
Pasal 10
Dalam
pasal ini, ketentuan ayat (1) huruf a diubah, dari yang berbunyi:
a.
Menetapkan
sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang
ditetapkannya (UU No. 23 tahun 1999)
Menjadi:
a.
Menetapkan
sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi
(UU No. 3 tahun 2004)
Dan untuk
ketentuan ayat-ayat lainnya dalam pasal ini tidak mengalami perubahan.
Sebagai otoritas
moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada
sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran
ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.[4] Dan implementasi kebijakan
ini dilakukan dengan menetapkan sasaran operasional, yakni uang primer (base money) dengan menggunakan wewenang
yang dimiliki Bank Indonesia. Di antara wewenang yang dimiliki oleh Bank
Indonesia, yakni:
a)
Menetapkan
sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi
b)
Melakukan
pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara tertentu, misalnya mengadakan
operasi pasar terbuka di pasar uang, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum bagi perbankan (reserve
requirement), dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Cara-cara yang telah
disebutkan ini, sesuai dengan ketentuan ayat (2) juga dapat dilaksanakan dengan
prinsip syariah.
Terkait dengan pelaksanaan pengendalian moneter ini,
Bank Indonesia memiliki tata caranya sendiri yang tertuang dalam Peraturan Bank
Indonesia. Dan pokok-pokok ketentuan tersebut meliputi[5]:
1)
Tata
cara operasi pelaksanaan operasi pasar terbuka di pasar uang rupiah;
2)
Tata
cara pelaksanaan intervensi valuta asing dalam rangka stabilisasi rupiah;
3)
Instrumen
yang digunakan dalam operasi pasar terbuka;
4)
Tata
cara penetapan tingkat diskonto;
5)
Penetapan jenis
dan besaran cadangan wajib minimum bagi bank, baik dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing;
6)
Penetapan sanksi
administrative terhadap pelanggaran cadangan wajib minimum;
7)
Pembatasan
kredit atau pembiayaan termasuk juga segala bentuk fasilitas pinjaman dana
melalui pasar rupiah dan valuta asing; serta
8)
Pengaturan yang
berdasarkan prinsip syariah pada instrumen pasar terbuka, penetapan tingkat
diskonto, dan pembatasan kredit atatu pembiayaan termasuk juga segala bentuk
fasilitas pinjaman dana melalui pasar rupiah dan valuta asing.
Pasal 11
Dalam ketentuan Pasal 11 ini terdapat penambahan ayat
baru, yakni ayat (4) dan ayat (5), yang berbunyi:
(4) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan
keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang
membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan
darurat yang pendanaanya menjadi beban Pemerintah.
(5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan
mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas
pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara diatur dala undang-undang tersendiri, yang ditetapkan
selambat-lambatnya akhir tahun 2004.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya,
salah satu cara pengendalian moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah
dengan pengaturan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam
Pasal 11 ayat (1) s.d. ayat (3), hal ini lebih diperjelas bahwa kredit atau
pembiayaan jangka pendek untuk bank yang mengalami kesulitan yang diberikan
oleh Bank Indonesia berdasarkan prinsip syariah hanya untuk jangka waktu paling
lama 90 hari. Itupun harus dengan agunan yang memiliki kualitas tinggi dan
mudah dicairkan yang minimal setara dengan pemberian kredit atau pembiayaan
Dan untuk ketentuan Pasal (4) dan (5) ini merupakan
ketentuan baru yang diadakan untuk mengantisipasi adanya suatu bank yang
kesulitan keuangan berdampak sistemik dan dapat mengakibatkan krisis keuangan. Sehingga dalam hal ini Bank Indonesia dapat memberikan
fasilitas pembiayaan darurat dengan menggunakan APBN.
Pasal 12
Tugas
melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia selain untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah, juga mencakup pelaksanaan kebijakan nilai
tukar, yang ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah melalui keputusan
presiden atas ajuan Bank Indonesia. Kebijakannya pun akan disesuaikan dengan sistem nilai tukar yang sedang
dianut. Saat ini pemerintah menggunakan sistem nilai tukar mengambang, setelah
meninggalkan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating) dan sistem nilai tukar tetap.[6]
Pasal 13
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter, menurut ketentuan pasal ini, Bank Indonesia juga merupakan lembaga
keuangan yang mengelola cadangan devisa, yang mana dalam pengelolannya Bank
Indonesia dapat melakukan berbagai jenis transaksi devisa, termasuk dapat
menerima pinjaman luar negeri (Pasal 13 ayat (1) s.d. (3)),seperti menjual,
membeli ataupun menempatkan devisa, emas dan surat berharga secara tunai atau
berjangka termasuk pemberian pinjaman.
Pengelolaan dan pemeliharaan cadangan devisa yang
dilakukan oleh Bank Indonesia harus didasarkan atas prinsip keamanan dan
kesiagaan dalam memenuhi kewajiban segera tanpa mengabaikan untuk memperoleh
pendapatan yang optimal. Tujuan dari pengelolaan dan pemeliharaan ini sendiri
tidak terlepas dari kebijakan menjaga nilai tukar. Sedang pinjaman luar negeri
yang dimaksud dalam rangka kebijakan moneter, yaitu pinjaman luar negeri yang
diterima Bank Indonesia sebagai badan hukum.[7] Pinjaman ini semata-mata
hanya untuk cadangan devisa dan tidak termasuk dalam APBN.
Pasal 14
Maksud dari ketentuan pasal ini masih emiliki
keterkaitan dengan Pasal 8 mengenai tugas-tugas Bank Indonesia dalam mencapai
tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Di mana untuk
mendukung tugas-tugas yang tercantum dalam Pasal 8 tersebut, pada ketentuan
ayat (1) pasal ini disebutkan bahwa Bank Indonesia dapat mengadakan survei
berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan yang sifatnya mikro maupun makro.
Pelaksanaan survei ini sendiri dapat dilakukan oleh pihak lain yang ditugaskan
oleh Bank Indonesia. Akan tetapi, ini tidak menghilangkan kewajiban bagi setiap
badan yang disurvei untuk memberikan data ataupun keterangan yang diperlukan
kepada pihak yang ditugaskan tersebut. Dan walau bagaimanapun bank Indonesia
maupun pihak lain yang dimaksud tetap berkewajiban untuk merahasiakan sumber
atau data individual apabila tidak terdapat ketentuan lain yang
mengecualikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Djumhana, Muhamad. 2012. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Undang-undang Nomor 3 tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.
Humas Bank Indonesia Biro
Gubernur. t.t.. “Bank Indonesia: Apa, Siapa dan Bagaimana”. www.bi.go.id/id/tentang-bi/bi-dan-publik/kebanksentralan/Documents/ diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 20.29 WIB.
[1] Muhamad Djumhana, Hukum
Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), hal. 112.
[2] Ibid., hal. 114.
[4] Humas Bank Indonesia Biro
Gubernur, “Bank Indonesia: Apa, Siapa dan Bagaimana”, www.bi.go.id/id/tentang-bi/bi-dan-publik/kebanksentralan/Documents/
diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 20.29 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar