Sabtu, 12 Maret 2016

ANALISIS PERBANDINGAN UU NO. 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DAN UU NO. 3 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG BANK INDONESIA



Disusun oleh:
Kelompok 5
INDAH NUR HIDAYATI (NIM. 1711143031)
indah-sciencehome.blogspot.co.id
INDRIANI (NIM. 1711143033)
indrimerdeka.blogspot.com
M. NURHAFID MALIKUL MULKI (NIM. 1711143047)
nurhafid612.blogspot.com
VIVIN NAJIHAH (NIM. 1711143084)
evinn68.blogspot.com
ZAINI ROHMAH (NIM. 1711143090)
zrohmah.blogspot.com
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dagang & Bisnis
Per tanggal 11 Maret 2016

Bank sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of last resort.[1] Di Indonesia, wewenang bank sentral berada di tangan Bank Indonesia. Undang-undang yang berlaku dan mengatur kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral ialah Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan Undang-undang No. 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pada postingan kali ini kami akan menganalisis dan memperbandingkan kedua undang-undang di atas, khususnya:
-       BAB I tentang Ketentuan Umum,
-       BAB II tentang Status, Tempat Kedudukan, dan Modal,
-       BAB III tentang Tujuan dan Tugas, dan
-       BAB IV tentang Tugas Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter.
Dan untuk pembahasan lebih lengkapnya adalah sebagai berikut.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Ketentuan Pasal 1 dalam bab ini hanya membahas istilah-istilah dasar dalam Bank Indonesia yang kedudukannya sebagai bank sentral. Adapun Pasal 1 tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.         Dewan Gubernur adalah pimpinan Bank Indonesia;
2.         Gubernur adalah pemimpin merangkap anggotaDewan Gubernur;
3.         Deputi Gubernur Senior adalah wakil pemimpin merangkap anggota Dewan Gubernur;
4.         Deputi Gubernur adalah anggota Dewan Gubernur;
5.         Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku;
6.         Sistem pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi;
7.         Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Indonesia dan Bank yang mewajibkan Bank yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
8.         Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;
9.         Peraturan Dewan Gubernur adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur yang memuat aturan-aturan intern antara lain mengenai tata tertib pelaksanaan tugas dan wewenang Dewan Gubernur, kepegawaian, dan organisasi Bank Indonesia;
10.     Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan/atau suku bunga;
11.      Cadangan Umum adalah dana yang berasal dari sebagian surplus Bank Indonesia yang dapat digunakan untuk menghadapi risiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia;
12.     Cadangan Tujuan adalah dana yang berasal dari sebagian surplus Bank Indonesia yang dapat digunakan antara lain untuk penggantian atau pembaruan harta tetap dan perlengkapan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta untuk penyertaan.

Pasal 2
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) membahas tentang satuan mata uang Republik Indonesia yaitu rupiah (Rp), yang sah digunakan sebagai alat pembayaran bagi setiap orang dan badan yang berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)).
Sedangkan ketentuan ayat (5) pasal ini memberikan pengecualian terhadap ayat (3), yakni yang diberikan untuk keperluan pembayaran di tempat atau di daerah tertentu maupun untuk memenuhi kewajiban dalam valuta asing berdasarkan Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 3
Dalam ketentuan pasal ini, dijelaskan bahwa seseorang memiliki batasan tertentu dalam membawa uang rupiah keluar maupun masuk wilayah pabean RI, kecuali ia memiliki izin dari Bank Indonesia (ayat (1)). Ini merupakan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia.

BAB II
STATUS, TEMPAT KEDUDUKAN, DAN MODAL

Pasal 4
Ketentuan Pasal 4 ini mengalami perubahan pada ayat (2), yang semula berbunyi:
(2)   Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 4 UU No. 23 Tahun 1999)
Menjadi:
(2)   Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam  melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal  yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini. (Pasal 4 UU No. 3 tahun 2004)
Pada dasarnya, ketentuan pasal ini membahas tentang kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral (ayat (1)). Bank Indonesia ini meskipun lembaga milik negara, tetapi ia berdiri sendiri (independen) dan terlepas dari campur tangan lembaga negara lainnya, kecuali terhadap hal-hal yang diatur dalam undang-undang (ayat (2)), serta berstatus sebagai badan hukum (ayat (3)).
Bank Indonesia dalam kedudukannya sebagai badan hukum (publik), yaitu sebagai salah satu lembaga negara selain mempunyai wewenang dalam mengelola kekayaannya sendiri yang terlepas dari anggaran pendapatan dan belanja negara, juga wewenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenagannya.[2] Sehingga Bank Indonesia ini menjadi lembaga independen yang bidang tugasnya di luar pemerintahaan ataupun lembaga lain. Hal ini menyebabkan pihak lain dilarang ikut campur dalam pelaksanan Bank Indonesia. Dalam hal ini pula Bank Indonesia wajib mengabaikan segala bentuk campur tangan tersebut supaya dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif dan terlepas dari pengaruh pihak lain. Namun demikian, Bank Indonesia tetap wajib menyampaikan laporan pertanggungjawabannya kepada DPR (laporan pelaksanaan tugas) dan BPK (laporan keuangan).

Pasal 5
Menurut ketentuan pasal ini, Bank Indonesia berkedudukan di ibukota negara, serta dapat memiliki kantor-kantor di dalam maupun di luar wilayah negara RI. Adapun penamaan kantor di dalam negeri disebut kantor cabang, sedangkan kantor di luar negeri disebut kantor perwakilan.[3] Kantor-kantor tersebut dapat melakukan berbagai macam kegiatan Bank Indonesia sesuai tugas dan wewenangnya.

Pasal 6
Ketentuan pasal ini mengalami perubahan pada ayat (2) dan ayat (3), yang mulanya berbunyi:
(2)   Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditambah sehingga menjadi 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh kewajiban moneter, yang dananya berasal dari Cadangan Umum atau sumber lain.
(3)   Tata cara penambahan modal dari Cadangan Umum atau sumber lainnya ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur. (Pasal 6 UU No. 23 Tahun 1999)
Menjadi:
(2)   Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditambah sehingga menjadi paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh kewajiban moneter, dengan dana yang berasal dari Cadangan Umum atau dari hasil revaluasi aset.
(3)   Tata cara penambahan modal dari Cadangan Umum atau dari hasil revaluasi aset ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur. (Pasal 6 UU No. 3 Tahun 2004)
Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa modal Bank Indonesia sekurang-kurangnya adalah Rp 2 triliun, dan harus ditambah sehingga menjadi 10% dari seluruh kewajiban moneter yang dananya dari cadangan umum ataupun revaluasi aset. Sehingga apabila kewajiban moneter naik, maka Bank Indonesia harus terus menaikkan modalnya agar tetap memliki perbandingan 10% dengan kewajiban moneternya. Yang dimaksud kewajiban moneter ini dapat berupa kewajiban Bank Indonesia kepada masyarakat, Bank, dan Pemerintah, baik berupa uang kartal yang diedarkan atupun semacamnya.
Untuk mencapai modal yang sesuai  perbandingan 10%  dengan kewajiban moneternya, maka dapat dilakukan dengan melalui cadangan umum maupun sumber lain, yakni yang berasal dari surplus Bank Indonesia untuk menghadapi resiko ataupun tambahan modal dari revaluasi aset atau setoran modal kekayaan negara yang dipisahkan. Hal ini ditetapkan dalam peraturan dewan gubernur

BAB III
TUJUAN DAN TUGAS

Dalam Bab III ini terdapat 3 (tiga) ketentuan pasal, yakni Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9.
Dalam pasal 7 ini terdapat ketentuan baru yang kemudian menjadi ayat (2), sehingga pasal ini tidak hanya membahas tentang tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (ayat (1)). Tetapi juga dijelaskan bahwa Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian (ayat (2)). Kestabilan nilai rupiah ini diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Adapun tujuan kestabilan nilai rupiah ini adalah untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan hal ini dapat dilaksanakan dalam bentuk kebijakan moneter sebagaimana disebutkan di atas.
Ketentuan pasal 8 membahas tentang tugas-tugas Bank Indonesia untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yakni sebagai berikut:
a.    Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
b.   Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
c.    Mengatur dan mengawasi Bank
Untuk mendukung tugas-tugas ini, Bank Indonesia dapat mengadakan survei pengumpulan informasi yang bersifat makro maupun mikro, survei kegiatan usaha, survei konsumen, ataupun survei lainnya.
Sedangkan ketentuan Pasal 9 membahas tentang larangan campur tangan dalam berbagai bentuk oleh pihak lain terhadap pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal di atas, ayat (1). Dalam hal ini Bank Indonesia juga wajib menolak/mengabaikan segala bentuk campur tangan tersebut.

BAB IV
TUGAS MENETAPKAN DAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN MONETER

Pasal 10
Dalam pasal ini, ketentuan ayat (1) huruf a diubah, dari yang berbunyi:
a.    Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya (UU No. 23 tahun 1999)
Menjadi:
a.    Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi (UU No. 3 tahun 2004)
Dan untuk ketentuan ayat-ayat lainnya dalam pasal ini tidak mengalami perubahan.
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.[4] Dan implementasi kebijakan ini dilakukan dengan menetapkan sasaran operasional, yakni uang primer (base money) dengan menggunakan wewenang yang dimiliki Bank Indonesia. Di antara wewenang yang dimiliki oleh Bank Indonesia, yakni:
a)   Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi
b)   Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara tertentu, misalnya mengadakan operasi pasar terbuka di pasar uang, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum bagi perbankan (reserve requirement), dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Cara-cara yang telah disebutkan ini, sesuai dengan ketentuan ayat (2) juga dapat dilaksanakan dengan prinsip syariah.
Terkait dengan pelaksanaan pengendalian moneter ini, Bank Indonesia memiliki tata caranya sendiri yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia. Dan pokok-pokok ketentuan tersebut meliputi[5]:
1)   Tata cara operasi pelaksanaan operasi pasar terbuka di pasar uang rupiah;
2)   Tata cara pelaksanaan intervensi valuta asing dalam rangka stabilisasi rupiah;
3)   Instrumen yang digunakan dalam operasi pasar terbuka;
4)   Tata cara penetapan tingkat diskonto;
5)   Penetapan jenis dan besaran cadangan wajib minimum bagi bank, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing;
6)   Penetapan sanksi administrative terhadap pelanggaran cadangan wajib minimum;
7)   Pembatasan kredit atau pembiayaan termasuk juga segala bentuk fasilitas pinjaman dana melalui pasar rupiah dan valuta asing; serta
8)   Pengaturan yang berdasarkan prinsip syariah pada instrumen pasar terbuka, penetapan tingkat diskonto, dan pembatasan kredit atatu pembiayaan termasuk juga segala bentuk fasilitas pinjaman dana melalui pasar rupiah dan valuta asing.

Pasal 11
Dalam ketentuan Pasal 11 ini terdapat penambahan ayat baru, yakni ayat (4) dan ayat (5), yang berbunyi:
(4)   Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaanya menjadi beban Pemerintah.
(5)   Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dala undang-undang tersendiri, yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya, salah satu cara pengendalian moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah dengan pengaturan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam Pasal 11 ayat (1) s.d. ayat (3), hal ini lebih diperjelas bahwa kredit atau pembiayaan jangka pendek untuk bank yang mengalami kesulitan yang diberikan oleh Bank Indonesia berdasarkan prinsip syariah hanya untuk jangka waktu paling lama 90 hari. Itupun harus dengan agunan yang memiliki kualitas tinggi dan mudah dicairkan yang minimal setara dengan pemberian kredit atau pembiayaan
Dan untuk ketentuan Pasal (4) dan (5) ini merupakan ketentuan baru yang diadakan untuk mengantisipasi adanya suatu bank yang kesulitan keuangan berdampak sistemik dan dapat mengakibatkan krisis keuangan. Sehingga dalam hal ini Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat dengan menggunakan APBN.

Pasal 12
Tugas melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia selain untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, juga mencakup pelaksanaan kebijakan nilai tukar, yang ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah melalui keputusan presiden atas ajuan Bank Indonesia. Kebijakannya pun akan disesuaikan dengan sistem nilai tukar yang sedang dianut. Saat ini pemerintah menggunakan sistem nilai tukar mengambang, setelah meninggalkan sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating) dan sistem nilai tukar tetap.[6]

Pasal 13
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, menurut ketentuan pasal ini, Bank Indonesia juga merupakan lembaga keuangan yang mengelola cadangan devisa, yang mana dalam pengelolannya Bank Indonesia dapat melakukan berbagai jenis transaksi devisa, termasuk dapat menerima pinjaman luar negeri (Pasal 13 ayat (1) s.d. (3)),seperti menjual, membeli ataupun menempatkan devisa, emas dan surat berharga secara tunai atau berjangka termasuk pemberian pinjaman.
Pengelolaan dan pemeliharaan cadangan devisa yang dilakukan oleh Bank Indonesia harus didasarkan atas prinsip keamanan dan kesiagaan dalam memenuhi kewajiban segera tanpa mengabaikan untuk memperoleh pendapatan yang optimal. Tujuan dari pengelolaan dan pemeliharaan ini sendiri tidak terlepas dari kebijakan menjaga nilai tukar. Sedang pinjaman luar negeri yang dimaksud dalam rangka kebijakan moneter, yaitu pinjaman luar negeri yang diterima Bank Indonesia sebagai badan hukum.[7] Pinjaman ini semata-mata hanya untuk cadangan devisa dan tidak termasuk dalam APBN.

Pasal 14
Maksud dari ketentuan pasal ini masih emiliki keterkaitan dengan Pasal 8 mengenai tugas-tugas Bank Indonesia dalam mencapai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Di mana untuk mendukung tugas-tugas yang tercantum dalam Pasal 8 tersebut, pada ketentuan ayat (1) pasal ini disebutkan bahwa Bank Indonesia dapat mengadakan survei berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan yang sifatnya mikro maupun makro. Pelaksanaan survei ini sendiri dapat dilakukan oleh pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia. Akan tetapi, ini tidak menghilangkan kewajiban bagi setiap badan yang disurvei untuk memberikan data ataupun keterangan yang diperlukan kepada pihak yang ditugaskan tersebut. Dan walau bagaimanapun bank Indonesia maupun pihak lain yang dimaksud tetap berkewajiban untuk merahasiakan sumber atau data individual apabila tidak terdapat ketentuan lain yang mengecualikannya.


DAFTAR PUSTAKA

Djumhana, Muhamad. 2012. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Humas Bank Indonesia Biro Gubernur. t.t.. Bank Indonesia: Apa, Siapa dan Bagaimana. www.bi.go.id/id/tentang-bi/bi-dan-publik/kebanksentralan/Documents/ diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 20.29 WIB.





[1] Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), hal. 112.
[2] Ibid., hal. 114.
[3] Ibid., hal. 113.
[4] Humas Bank Indonesia Biro Gubernur, Bank Indonesia: Apa, Siapa dan Bagaimana, www.bi.go.id/id/tentang-bi/bi-dan-publik/kebanksentralan/Documents/ diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 20.29 WIB.
[5] Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia…, hal. 117-118.
[6] Ibid., hal. 118.
[7] Ibid., hal. 120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar