“Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum tanggal 8 November 2015”
Oleh:
Zaini Rohmah (1711143090)
HES
III-B
Pemilihan kepala daerah atau yang sering kita sebut dengan
pilkada, merupakan suatu bentuk kepedulian pemerintah terhadap rakyat. Dimana
seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan Negara yang bentuk
pemerintahannya adalah demokrasi. Demokrasi mengizinkan warga negara
berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan,
dan pembuatan hukum. Undang-Undang yang secara khusu mengatur pemilihan kepala
daerah adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan atas
undang-undang Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota menjadi undang-undang (UU Pilkada). Sebelum lebih jauh membahas
tentang topik utama, kita akan membahas tentang paradigma perubahan sosial dan
perubahan hukum. Hubungan perubahan perubahan sosial dan sektok hukum merupakan
salah satu kajian penting dari disiplin sosiologi hukum. Hubungan tersebut
merupakan hubungan interaksi atau timbal balik, dalam arti terdapat pengaruh
perubahan sosial terhadap perubahan sektor hukum sementara dipihak lain
perubahan hukum juga berpengaruh terhadap perubahan sosial. Untuk menganalisa
dampak yang ditimbulkannya sekurang-kurangnya terdapat dua paradigma, yaitu: Hukum
sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak tertinggal oleh laju
perubahan masyarakat. Ciri-ciri paradigma ini adalah:
- Perubahan hukum atau perubahan social cenderung diikuti oleh system lain karena dalam kondisi ketergantungan
- Hukum selalu menyesuaikan diri pada perubahan social
- Hukum sebagai alat untuk mengabdi pada perubahan social
- Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan. Cirri-ciri paradigm ini adalah:
- Hukum merupakan alat untuk merekayasa masyarakat
- Hukum merupakan alat merubah masyarakat secara langsung
- Hukum berorientasi masa depan
Inti
dari paradigma ini adalah hukum diciptakan untuk mengantisipasi persoalan hukum
yang akan timbul.
Kontestasi Demokrasi di Indonesia, dengan segala ragam
budaya, dan corak pemikiran masyarakat, akhirnya mengharuskan pemerintah selaku
pembuat kebijakan untuk lebih teliti dan detail dalam setiap perancangan produk
hukum. Agenda pemerintah untuk menyelenggarakan pilkada serentak merupakan
gambaran riil dan juga fakta bahwa UU dan juga produk hukum lainnya dalam hal
pelaksanaan pilkada serentak ini belum cukup mampu mengcover dan menyeleseikan
berbagai macam fenomenna yang muncul dari agenda tersebut. Seperti yang
baru-baru ini marak diberitakan hampir diseluruh media cetak ataupun elektronik
tentang fenomena pilkada dengan calon tunggal, ada sekitar 3 daerah yang
akhirnya harus terhenti tahapan pilkadanya karena adanya hal tersebut,
penghentian tahapan pilkada menjadi sebuah keharusan dan juga merupakan amanat
dari landasan hukum yang ada, hingga pada akhirnya Mahkamah Konstitusi
memutuskan, untuk ke tiga daerah tersebut tetap bisa menyelenggarakan pilkada
dengan satu pasangan calon, hal ini dilegalkan melalui keputusan Mahkamah
Konstitusi No. 100/X/2015.
Dalam kaitan penyelenggaraan pilkada serentak, khususnya di
tiga daerah yang hanya ada satu pasangan calon tersebut membutuhkan aturan
khusus yang mengatur secara teknis penyelengaraanya, akhirnya Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia merumuskan dan mengesahkan peraturan baru, yaitu PKPU
NO.14 Tahun 2015, yang khusus membahas pelaksanaan pilkada Dengan satu Pasangan
Calon Tersebut. Diantaranya pada pasal 3 yaitu:
Pasal 3
1.
Pemilihan 1 (satu) Pasangan Calon dilaksanakan dalam hal
memenuhi kondisi, apabila:
a)
Setelah dilakukan penundaan, dan sampai dengan berakhirnya
masa perpanjangan pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon yang
mendaftar, dan berdasarkan hasil penelitian, Pasangan Calon tersebut dinyatakan
memenuhi syarat;
b)
Terdapat lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon yang mendaftar,
dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon yang
dinyatakanmemenuhi syarat, dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan
berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran, tidak terdapat Pasangan Calon
yang mendaftar, atau Pasangan Calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian
dinyatakan tidak memenuhisyarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu)
Pasangan Calon;
c)
Sejak penetapan Pasangan Calon sampai dengan saat dimulainya
masa Kampanye, terdapat Pasangan Calon yang berhalangan tetap, Partai Politik
atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/Pasangan Calon pengganti,
atau calon/Pasangan Calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi
syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon;
d)
Sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan
suara, terdapat Pasangan Calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/Pasangan Calon pengganti, atau
calon/Pasangan Calon pengganti yang
e)
Diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang
mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon; atau
f)
Terdapat Pasangan Calon yang dikenakan sanksi pembatalan
sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) Pasangan
Calon.
Dengan diterbitkanya peraturan ini
kemudian beberapa daerah yang hanya mempunyai satu pasangan calon tersebut
akirnya bisa dan sah untuk mengikuti pilkada serentak ditahun 2015 ini.
Apabila kita kaji dari segi paradigma hukumnya, hal ini
termasuk dalam paradigma kedua yaitu hukum dapat menciptakan perubahan dalam
masyarakat, Karena keputusan ini datang berdasarkan pemerintah sendiri.
Ciri-cirinya yaitu hukum berorientasi masa depan, pemerintah membuat kebijakan
di atas karena ingin menciptakan pemerintahan yang baik dan agar tidak terjadi
kekosongan kekuasaan. Selain itu, pemerintah tidak menghendaki adanya
dampak-dampak buruk yang akan terjadi apabila ketetapan dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2015 pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), pasal 51 ayat (2), pasal 52
ayat (2), dan pasal 54 ayat (4) tidak diubah. Dampak buruk yang dapat terjadi
yaitu, penundaan pilkada serentak sesungguhnya telah menghilangkan hak rakyat
untuk dipilih dan memilih pada pemilihan serentak saat itu. Kedua, apabila
penundaan demikian dapat dibenarkan tetap tidak ada jaminan bahwa pemilihan
serentak berikutnya itu hak rakyat untuk dipilih dan memilih dapat dipenuhi.
Tetapi berdasarkan kebijakan MK yang telah dipaparkan diatas, dampak buruk itu
dapat dicegah.
Kemudian
mengenai pilkada serentak yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
pasal 3 ayat (1) “pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara
serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal ini juga
termasuk dalam paradigma kedua karena ketentuan ini berdasarkan keputusan
pemerintah sendiri. Yang mempunyai ciri-ciri hukum sebagai alat untuk
merekayasa masyarakat. Maksud merekayasa disini adalah dimana calon kepala
daerah dan masyarakat secara langsung akan mengikuti ketentuan Undan-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 pasal 3. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu
banyak di Indonesia, bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah,
kewajiban membiayai pilkada rupanya dapat mengurangi biaya pelayanan publik
seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, pilkada serentak dinilai
lebih tepat karena lebih efisien dan dapat menghemat APBD.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun. 2012. Sosiologi Hukum
sebagai Pengantar. Cet ke 1. Yogyakarta: Teras.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
diakses pada tanggal 6 november 2015 pukul 10.00
https://kompas.com/baca/2015%2c-Tiga-Kabupaten-dengan-Calon-Tu
diakses pada tanggal 7 november 2015 pukul 18.00
https://seknasfitra.org/pilkada-serentak-untuk-efisiensi-anggaran/
diakses pada tanggal 8 november 2015 pukul 13.00